Hasyasyin (Assasin) yang penuh kemisteriusan

Posted: by Aldian Kresna N. in Label: ,


  Assassins atau hasyasyin, begitulah sebutannya. Kata inilah yang kemudian populer saat terjadinya perang Salib, dan di Barat kata ini dibawa oleh Marco Polo, serta dipopulerkan oleh Edward Burman (1987) dan Bernard Lewis. Dalam sejarahnya, hasyasyin merupakan satu kelompok sempalan dari sekte Syiah Ismailiyyah. Hitti dalam bukunya tidak menyebutkan kata assassins, tetapi hasyasyin. Gerakan ini merupakan gerakan sempalan dari ajaran Ismailiyyah yang berkembang pada dinasti Fathimiyyah, Mesir. Hassan Sabbah (w. 1124) adalah pendirinya dan para anggota hasyasyin menyebut gerakan mereka sebagai da’wah jadidah (ajaran baru). Menurut Hitti, Hassan Sabbah mengaku sebagai keturunan raja-raja Himyar di Arab Selatan. Menurutnya motif gerakan ini murni memuaskan ambisi pribadi, dan dari sisi keagamaan sebagai alat untuk balas dendam (Philip K. Hitti, 2010: 565). Hassan Sabbah dilahirkan di kota Qumm, salah satu pusat perkampungan Arab di Persia dan benteng orang-orang Syi’ah Itsna Asyariyah. Ayahnya, seorang pengikut Syiah Itsna Asyariyah, datang dari Kufah, Iraq, dan dikatakan sebagai orang asli Yaman. Tanggal kelahiran Hasan tidak ketahui, namun barangkali sekitar pertengahan abad XI. Ketika dia masih kecil, ayahnya pindah ke Rayy –kota modern di dekat Tehran, di sana Hasan mendapatkan pendidikan agamanya. Rayy merupakan pusat aktivitas para dai semenjak abad IX dan tak lama kemudian Hasan mulai terpengaruh oleh mereka (Philip K. Hitti, 2010: 565).

  Alamut merupakan basis pertahanan dari hasyasyin. Benteng ini dibangun di atas punggung bukit di puncak sebuah gunung batu yang tinggi pada jantung pegunungan Elburz, serta mempunyai sebuah lembah yang tertutup dan kuat, yang panjangnya sekitar 30 mil, dan luasnya 3 mil. Tinggi gunung tersebut sekitar 6000 kaki di atas permukaan laut, dan hanya bisa dicapai melalui sebuah jalan sempit, curam dan berliku. Untuk mendekati batu tersebut orang harus melalui jurang sempit di sungai Alamut, yang terletak diantara jurang tegak lurus dan kadang menggantung.

  Istana tersebut dikatakan telah dibangun oleh salah seorang raja Daylam. Ketika dia sedang keluar untuk berburu dia kehilangan burung Elang piarannya yang ternyata hinggap di gunung batu tersebut. Raja melihat nilai strategis posisi gunung batu tersebut dan saat itu pula dia membangun sebuah istana di atasnya. Dia memberi nama istana tersebut Aluh Amut yang dalam bahasa orang-orang Daylam berarti ajaran burung Elang.

  Alamut, sebagai benteng pertahanan yang dimiliki oleh hasyasyin dipandang mempunyai peranan penting dalam melakukan serangan-serangan mendadak ke berbagai arah yang mengejutkan benteng-benteng pertahanan lawan. Dalam berbagai upayanya untuk mencapai tujuan, mereka menggunakan pisau-pisau belati yang indah, yang menjadikan pembunuhan sebagai seni. Organisasi rahasia mereka, yang didasarkan atas ajaran Ismailiyyah, mengembangkan agnostisisme yang bertujuan untuk mengantisipasi anggota baru dari kekangan ajaran, mengajari mereka konsep keberlebihan para nabi dan menganjurkan mereka agar tidak mempercayai apa pun serta bersikap berani untuk menghadapi apa pun. Di bawah mahaguru ada tingkatan guru senior yang masing-masing bertanggung jawab atas setiap daerahnya. Di bawahnya, ada dai-dai biasa, sedangkan tingkatan yang paling rendah adalah para fida’i yang selalu siap sedia melaksanakan setiap perintah sang Mahaguru (syekh, the elder, orang tua) (Philip K. Hitti, 2010: 565).

  Hasyasyin juga cukup dikenal di dunia Barat. Persentuhannya dengan Barat, menurut Lewis, dimulai ketika belati mereka tertancap pada Conrad of Montferrat, raja kerajaan Latin Yerusalem. Pembunuhan tersebut, menurut Lewis, menimbulkan kesan yang mendalam pada para pasukan perang salib, dan mayoritas kronikus perang salib III mempunyai pengungkapan sesuatu mengenai sekte yang menakutkan tersebut, dan keyakinan serta cara-caranya yang aneh, serta pemimpin mereka yang mengagumkan. “Saya mengaitkan beberapa hal pada si syekh (the elder) ini” kata penulis kronik Jerman, Arnold of Lubbeck, “yang tampak menggelikan namun dapat saya buktikan dengan bukti-bukti serta saksi-saksi yang terpercaya. Mahaguru ini mempunyai ilmu sihir yang dapat membikin kagum banyak orang di negerinya, yang membuat mereka tidak menyembah dan tidak pula percaya kecuali kepadanya. Dia memikat mereka juga dengan cara yang aneh, seperti memberi harapan-harapan, janji-janji kesenangan dan kebahagiaan abadi, yang membuat mereka lebih memilih mati untuk mendapatkannya. Bahkan banyak diantara mereka yang akan terjun dari dinding yang tinggi yang akan menghancurkan kepala mereka dan membuat mereka mati dengan cara yang amat mengerikan, hanya dengan aba-aba anggukan kepala atau perintahnya. Ketika beberapa diantara mereka lebih memilih mati dengan cara ini —membunuh seseorang dengan keahliannya dan kemudian mereka akan membunuh diri mereka hingga sekarat dalam keberkatan—, sang mahaguru memberikan mereka belati yang disiapkan secara khusus untuk prosesi ini, dan kemudian dia memberi semacam obat yang dapat membuat mereka mabuk serta lupa, kemudian mereka ditunjukkan, dengan magisnya, pada mimpi-mimpi yang fantastis, penuh kesenangan, atau semacam itu. Tidak hanya berhenti di situ saja, sang mahaguru menjanjikan bahwa mereka akan menikmati kebahagiaan seperti itu selamanya sebagai balasan perbuatan yang telah mereka lakukan” (Bernard Lewis, 1967: 4).

  Menurut Lewis, bagi para korbannya, para hasyasyin adalah orang-orang kriminal fanatik yang bergerak dalam konspirasi pembunuhan melawan agama dan masyarakat. Bagi para pengikut Ismailiyah, mereka adalah korps elit yang berperang melawan musuh-musuh imam; dengan menjatuhkan para penindas dan perebut kekuasaan, mereka memberikan bukti nyata akan kepercayaan dan loyalitas mereka, serta segera memperoleh kebahagiaan yang abadi. Orang-orang Ismailiyah sendiri menggunakan istilah fidai —yang secara kasar berarti pengikut setia— untuk menyebut pasukan pembunuh mereka, dan sebuah syair Ismailiyah yang indah memuji keberanian dan kesetiaan total mereka. Dalam sebuah kronik lokal Ismailiyah di Alamut, yang ceritakan oleh Rashid ad-Din dan Kashani, ada sebuah daftar pujian untuk pembunuhan-pembunuhan, yang juga menyertakan nama-nama korban beserta para pembunuhnya ((Bernard Lewis, 1967: 48).

  Dari segi bentuk, orang-orang Ismailiyah merupakan sebuah masyarakat rahasia, yang mempunyai sistem sumpah, inisiasi serta tingkatan-tingkatan pangkat dan pengetahuan. Rahasia-rahasia mereka terjaga dengan baik, dan informasi mengenai mereka terpisah-pisah serta membingungkan. Orang-orang ortodoks yang suka berpolemik melukiskan orang-orang Ismailiyah sebagai gerombolan orang-orang nihilis palsu yang menipu korban-korbannya melalui tahapan-tahapan penistaan yang terus menerus, dan pada akhirnya memperlihatkan hal-hal yang amat buruk kepada orang-orang yang tidak mempercayai mereka.

  Para penulis Ismailiyah melihat sekte ini sebagai penjaga misteri yang suci yang hanya bisa dicapai setelah melalui rangkaian panjang persiapan serta proses. Istilah yang umum dipergunakan untuk organisasi sekte ini adalah da’wa (dalam bahasa Persianya Da’vat), yang berarti missi atau ajaran; agen-agennya adalah para dai atau missionaris —secara literal berarti penyeru atau pengajak— yang merupakan suatu jabatan kependetaan melalui pengangkatan. Dalam laporan-laporan Ismailiyah belakangan mereka dibagi keberbagai macam tingkatan dai, guru, murid –tingkatan rendah atau tinggi-, sedangkan di bawah mereka adalah mustajib —secara literal berarti simpatisan atau responden, yang merupakan murid yang paling rendah— tingkatan yang paling tinggi adalah hujjah (dalam bahasa Persianya Hujjat), dai senior. Kata jazirah ‘pulau’, digunakan untuk menunnjukkan teritorial atau yurisdiksi etnik yang diketuai oleh seorang dai (Bernard Lewis, 1967: 49).

  Gambaran yang dideskripsikan oleh Lewis di atas sangat menarik, karena hal seperti ini pula sebenarnya yang memacu seseorang untuk melaksanakan jihad fi sabilillah dengan mengangkat pedang. Penjelasan mengenai surga —seperti yang dipaparkan dalam al-Qur’an— yang di dalamnya terdapat sungai anggur, madu, dan susu, perempuan-perempuan cantik, serta kebun-kebun yang belum pernah dilihat di mata disuguhkan secara konkrit oleh sang mahaguru, sehingga pemuda yang disiapkan menjadi hasyasyin benar-benar percaya dan tidak memiliki alasan untuk tidak percaya bahwa itulah surga. Dan memang pada masa perang salib, hal ini memberikan kesan yang mendalam mengenai taktik dan strategi hasyasyin dalam meneror dan membunuh target-target yang menjadi korbannya. Dan tidak itu saja, Lewis mensinyalir bahwa hasyasyin juga sering disewa oleh orang-orang Barat untuk membunuh musuh-musuhnya. Dalam setiap pembunuhan yang mereka lakukan, baik di persia maupun di Syiria, para Hasyasyin selalu menggunakan belati; tidak pernah memakai racun atau peluru meskipun dalam banyak kesempatan hal itu akan membuat pembunuhan menjadi lebih mudah dan lebih aman. Menurut Lewis, seorang Hasyasyin hampir pasti selalu tertangkap, dan biasanya mereka memang tidak berusaha melarikan diri; bahkan ada anggapan bahwa selamat setelah melaksanakan tugas merupakan suatu hal yang memalukan. Seorang pengarang Barat abad XII mengatakan: “ketika kemudian ada beberapa orang di antara mereka yang memilih mati dengan cara ini… dia sendiri (baca: sang ketua) akan memberi mereka pisau yang menurutnya memang disiapkan untuk itu…”(Bernard Lewis, 1967: 47). Hal ini dikarenakan sang hasyasyin benar-benar mengharapkan surga.


0 komentar :

W A R N I N G !

DALAM BERKOMENTAR SETIDAKNYA ANDA HARUS :

> BERTUTUR KATA YANG SOPAN
> TIDAK BOLEH SPAMING DI BLOG INI
> TIDAK BOLEH MENGANDUNG UNSUR LINK ATAU SEJENISNYA
> TIDAK BOLEH BERKOMENTAR DENGAN HAL YANG TAK PANTAS

ATAS KERJASAMANYA SAYA UCAPKAN TERIMAKASIH.
BY :ADMIN


Selamat datang

Halo para pengunjung ! Selamat menjelajah dan semoga ilmunya bermanfaat , terimakasih.